Listen to Quran
11:45 AM

Al-Sunnah - Wahyu Kedua Selepas al-Quran

Firman Allah SWT:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى • إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحى

(Surah al-Najm:3–4)

Yang dimaksud Al-Sunnah di sini adalah Sunnah Nabi, iaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari'at bagi umat ini. Termasuk didalamnya ‘apa saja yang hukumnya wajib dan sunnah’ sebagaimana yang menjadi pengertian umum menurut ahli hadits. Juga ‘segala apa yang dianjurkan yang tidak sampai pada tahap wajib’ yang menjadi istilah ahli fiqh [Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al-Aqa'id wa al-Ahkam karya al-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, hal. 11]. 

Pengertian As Sunnah 

Al-Sunnah atau al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah SAW: 

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi al-Quran dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -iaitu al-Sunnah-,
(Riwayat Abu Dawud dan yang lainnya dengan sanad yang shahih) [Abu Dawud (no.4604), juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130].

Para ulama juga menafsirkan firman Allah SWT: 

“…dan supaya mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah”
[Surah al-Baqarah, ayat 129]

Al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah al-Sunnah seperti diterangkan oleh Imam al-Syafi'i, “Setiap kata al-hikmah dalam Al-Quran yang dimaksud adalah al-Sunnah.” Demikian pula yang ditafsirkan oleh para ulama yang lain. [Lihat Al-Madkhal Li Dirasah al-'Aqidah al-Islamiyah hlm. 24]. 

Al-Sunnah Terjaga Sampai Hari Kiamat 

Antara pengetahuan yang sangat penting, namun banyak orang melalaikannya, iaitu bahawa al-Sunnah termasuk dalam kata al-Dzikr yang termaktub dalam firman Allah Al-Quran surah al-Hijr ayat 9, yang terjaga dari kepunahan dan ketercampuran dengan selainnya, sehingga dapat dibedakan mana yang benar-benar al-Sunnah dan mana yang bukan. Tidak seperti yang disangka oleh sebahagian kelompok sesat, seperti Qadianiyah [Kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiani yang mengaku sebagai nabi, yang muncul di negeri India pada masa penjajahan Inggeris.] dan Quraniyun [Kelompok yang mengingkari al-Sunnah, dan hanya berpegang pada al-Qur’an.], yang hanya mengimani (meyakini) al-Quran namun menolak al-Sunnah. Mereka beranggapan salah [Dari sini nampak sekali kebodohan mereka akan al-Qur’an, seandainya mereka benar mengimani al-Qur’an sudah pasti mereka akan mengimani al-Sunnah, kerana betapa banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah SAW yang sudah barang tentu menunjukkan perintah untuk mengikuti al-Sunnah] tatkala mengatakan bahwa al-Sunnah telah tercampur dengan kedustaan manusia; tidak lagi bisa dibedakan mana yang benar-benar al-Sunnah dan mana yang bukan. Sehingga, mereka menyangka, setelah wafatnya Rasulullah SAW, kaum muslimin tidak mungkin lagi mengambil faedah dan merujuk kepada al-Sunnah. [Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al-'Aqaid wa al-Ahkam hlm. 16] 

Dalil-dalil yang Menunjukkan Terpeliharanya As-Sunnah:

Pertama: 
Firman Allah SWT: 

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Surah al-Hijr: 9) 

Al-Dzikr dalam ayat ini mencakup al-Qur’an dan –bila diteliti dengan cermat mencakup pula al-Sunnah. Sangat jelas dan tidak diragukan lagi bahwa seluruh sabda Rasulullah SAW yang berkaitan dengan agama adalah wahyu dari Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: 

“Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (Surah al-Najm:3)

Tidak ada perselisihan sedikit pun di kalangan para ahli bahasa atau ahli syariat bahawa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT merupakan al-Dzikr. Dengan demikian, sudah pasti bahwa yang namanya wahyu seluruhnya berada dalam penjagaan Allah SWT; dan termasuk di dalamnya al-Sunnah. Segala apa yang telah dijamin oleh Allah SWT untuk dijaga, tidak akan punah dan tidak akan terjadi penyelewengan sedikitpun. Bila ada sedikit saja penyelewengan, niscaya akan dijelaskan kebatilan penyelewengan tersebut sebagai konsekuensi dari penjagaan Allah SWT. Karena seandainya penyelewengan itu terjadi sementara tidak ada penjelasan akan kebatilannya, hal itu menunjukkan ketidak akuratan firman Allah SWT yang telah menyebutkan jaminan penjagaan. Tentu saja yang seperti ini tidak akan terbetik sedikitpun pada benak seorang muslim yang berakal sehat. Jadi, kesimpulannya adalah bahawa agama yang dibawa oleh Muhammad SAW ini pasti terjaga. Allah SWT sendirilah yang bertanggung jawab menjaganya; dan itu akan terus berlangsung hingga akhir kehidupan dunia ini. [Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al-Aqa'id wa al-Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin al-Albani hlm. 16–17]

Kedua:
Allah SWT menjadikan Muhammad SAW sebagai penutup para nabi dan rasul, serta menjadikan syari’at yang dibawanya sebagai syari’at penutup. Allah SWT memerintahkan kepada seluruh manusia untuk beriman dan mengikuti syari’at yang dibawa oleh Muhammad SAW sampai Hari Kiamat, yang hal ini secara otomatis menghapus seluruh syari’at selainnya. Dan adanya perintah Allah SAW untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia, menjadikan syariat agama Muhammad SAW tetap abadi dan terjaga. Adalah suatu kemustahilan, Allah SWT membebani hamba-hamba-Nya untuk mengikuti sebuah syari’at yang bisa punah. Sudah kita maklumi bahwa dua sumber utama syari’at Islam adalah al-Qur‘an dan al-Sunnah. Maka bila al-Qur’an telah dijamin keabadiannya, tentu al-Sunnahpun demikian. [Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al-Aqa'id wa al-Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin al-Albani hlm. 19-20] 

Ketiga: 
Seorang yang memperhatikan perjalanan umat Islam, niscaya ia akan menemukan bukti adanya penjagaan al-Sunnah. Diantaranya sebagai berikut: [Lihat Al-Madkhal li al-Dirasah al-Aqidah al-Islamiyah, hlm. 25] 

a. Perintah Nabi SAW kepada para sahabatnya agar menjalankan al-Sunnah. 
b. Semangat para sahabat dalam menyampaikan al-Sunnah. 
c. Semangat para ulama di setiap zaman dalam mengumpulkan al-Sunnah dan menelitinya sebelum mereka menerimanya. 
d. Penelitian para ulama terhadap para periwayat al-Sunnah. 
e. Dibukukannya ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil. [Ilmu yang membahas penilaian para ahli hadits terhadap para periwayat hadits, baik berkaitan dengan pujian maupun celaan. (Pen.)] 
f. Dikumpulkannya hadits–hadits yang cacat, lalu dibahas sebab-sebab cacatnya. 
g. Pembukuan hadits-hadits dan pemisahan antara yang diterima dan yang ditolak. 
h. Pembukuan biografi para periwayat hadits secara lengkap. 


Wajib merujuk kepada al-Sunnah dan haram menyelisihinya 

Sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahawa al-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan al-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi’i rahimahullah di akhir kitabnya, al-Risalah berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).” Kaedah Ushul menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. 

Perintah al-Qur‘an agar berhukum dengan al-Sunnah

Di dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan al-Sunnah, diantaranya: 

1. Firman Allah SWT: 

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki maupun perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan dalam urusan mereka, mereka memilih pilihan lain. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia telah nyata-nyata sesat.”
(Surah al-Ahzab: 36) 

2. Firman Allah SWT: 

“Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Surah Hujurat:1) 

3. Firman Allah SWT: 

“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang kafir.” (Surah Ali Imran: 32) 

4. Firman Allah SWT: 

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; janganlah kamu berbantah-bantahan, karena akan menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Surah al-Anfal: 46) 

5. Firman Allah SWT: 

“Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang ia kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan mendapatkan siksa yang menghinakan.” (Surah al-Nisa’: 13–14) 

Hadits-hadits yang memerintahkan agar mengikuti Nabi dalam segala hal, di antaranya: 

1. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Setiap umatku akan masuk Syurga, kecuali orang yang enggan,” Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk Syurga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang enggan”. (Riwayat al-Bukhari dalam kitab al-I’tisham). [Hadits no. 6851] 

2. Abu Rafi’ mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Sungguh, akan aku dapati salah seorang dari kalian bertelekan di atas sofanya, yang apabila sampai kepadanya hal-hal yang aku perintahkan atau aku larang dia berkata, ‘Saya tidak tahu. Apa yang ada dalam Al-Qur`an itulah yang akan kami ikuti” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi –dan ia menshahihkannya-, Ibnu Majah, al-Thahawi dan lainnya dengan sanad yang shahih). [HR Imam Ahmad VI/8 , Abu Dawud (no. 4605), al-Tirmidzi (no. 2663), Ibnu Majah (no. 12), al-Thahawi IV/209] 

3. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selamalamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh [Sebuah telaga di surga. (Pen.)].” (Riwayat Imam Malik secara mursal [Tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad.] Al-Hakim secara musnad [Sanadnya bersambung dan sampai kepada Rasulullah SAW.] –dan ia menshahihkannya- ) [Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (no. 1594), dan Al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/172).] 

Kesimpulan 

1. Tidak ada perbedaan antara hukum Allah SWT dan hukum Rasul-Nya, sehingga tidak diperbolehkan kaum muslimin menyelisihi salah satu dari keduanya. Derhaka kepada Rasulullah SAW bererti derhaka pula kepada Allah SWT, dan hal itu merupakan kesesatan yang nyata. 

2. Larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Rasulullah SAW sebagaimana kerasnya larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Allah SWT. 

3. Sikap berpaling dari mentaati Rasulullah SAW merupakan kebiasaan orang-orang kafir. 

4. Sikap rela/redha terhadap perselisihan, -dengan tidak mahu mengembalikan penyelesaiannya kepada al-Sunnah- merupakan salah satu sebab utama yang meruntuhkan semangat juang kaum muslimin, dan memusnahkan daya kekuatan mereka. 

5. Taat kepada Nabi SAW merupakan sebab yang memasukkan seseorang ke dalam Syurga; sedangkan derhaka dan melanggar batasan-batasan (hukum) yang ditetapkan oleh Nabi SAW merupakan sebab yang memasukkan seseorang ke dalam Neraka dan memperoleh azab yang menghinakan.

6. Sesungguhnya al-Qur‘an memerlukan al-Sunnah (karena ia sebagai penjelas al-Qur’an); bahkan al-Sunnah itu sama seperti al-Qur‘an dari sisi wajib ditaati dan diikuti. Barangsiapa tidak menjadikannya sebagai sumber hukum bererti telah menyimpang dari tuntunan Rasulullah SAW.

7. Berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah akan menjaga kita dari penyelewengan dan kesesatan. Kerana, hukum-hukum yang ada di dalamnya berlaku sampai hari kiamat. Maka tidak boleh membezakan keduanya. [Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al-Aqa'id wa al-Ahkam oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani hlm. 21-30]

Rujukan: 

1. Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al-Aqa'id wa al-Ahkam, karya al-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. III/1400 H, al-Dar al-Salafiyah, Kuwait. 

2. Al-Madkhal li al-Dirasah al-Aqidah al-Islamiyah ‘ala Madzhab Ahli al-Sunnah, karya Dr. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan, penerbit Dar al-Sunnah, cet. III. 


Sumber: Fatawa Vol. 01/ I / Ramadhan 1423 H - 2002

0 comments: