Listen to Quran
1:15 AM

Bekal Para Da'i di Jalan Dakwah - زاد الداعية إلى الله (Bekal 6-Lapang Dada Terhadap Perselisihan)

BEKAL KEENAM : LAPANG DADA TERHADAP PERSELISIHAN

Seorang da’i haruslah berlapang dada terhadap orang yang menyelisihinya, apalagi jika diketahui bahwa orang yang menyelisihinya itu memiliki niat yang baik dan ia tidaklah menyelisihinya melainkan kerana ia belum pernah mendapatkan dirinya ditegakkan hujjah kepadanya. Selayaknya seseorang bersikap fleksibel di dalam masalah ini, dan janganlah ia menjadikan perselisihan seperti ini membawa kepada permusuhan dan kebencian. Kecuali seorang yang menyelisihi karena menentang, padahal telah diterangkan padanya kebenaran dan ia tetap bersikap keras di atas kebatilannya. Apabila demikian keadaannya, maka wajib menghadapinya dengan sesuatu yang layak baginya seperti menjauhkan dan memperingatkan ummat dari dirinya. Karena permusuhannya telah jelas dan telah diterangkan padanya kebenaran namun ia tetap tidak mahu mengapresiasikannya.

Ada permasalahan furu’iyyah yang diperselisihkan manusia, dan hal ini pada hakikatnya termasuk sesuatu yang Allah berikan kelapangan kepada hamba-Nya dengan adanya perselisihan di dalamnya. Yang saya maksud adalah permasalahan yang bukan termasuk usul (pokok) yang dapat membawa kepada pengkafiran bagi yang menyelisihinya.

Maka masalah ini termasuk perkara yang Allah berikan keluasan di dalamnya bagi hamba-Nya dan adanya kesalahan di dalamnya dimaafkan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda:

إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران وإن أخطأ فله أجر واحد

“Apabila seorang hakim berijtihad lalu ia benar maka ia mendapatkan dua pahala, namun apabila ia tersalah maka mendapatkan satu pahala.”

Seorang mujtahid, ia tidak akan keluar dari cakupan pahala selamanya, boleh jadi ia mendapat dua pahala apabila ia benar dan boleh jadi satu pahala apabila ia tersalah.

Apabila anda tidak menginginkan ada orang selain anda yang menyelisihi anda, demikian pula dengan orang lain, ia juga tidak menginginkan ada orang lainnya yang menyelisihinya. Sebagaimana pula anda menghendaki supaya manusia mahu menerima pendapat anda maka orang yang menyelisihi anda pun juga ingin supaya pendapat mereka diterima. Maka, tempat kembali ketika terjadi perbezaan pendapat, telah Allah Azza wa Jalla terangkan di dalam firman-Nya yang bermaksud:

“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah) kepada Allah (yang mempunyai sifat-sifat demikian) Itulah Allah Tuhanku, kepada-Nya lah aku bertawakkal dan
kepada-Nyalah aku kembali.” (QS asy-Syuura: 10)

Dan firman-Nya Azza wa Jalla, maksudnya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS an-Nisaa': 59)

Wajib bagi setiap orang yang berselisih dan berbeza pendapat untuk kembali kepada dua sumber utama, iaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ’alaihi wa Salam. Tidaklah halal bagi seorangpun untuk menentang Kalamullah Ta’ala dan ucapan Rasul-Nya Shallallahu ’alaihi wa Salam dengan ucapan seorang manusia, siapapun dia.

Jika telah jelas bagi anda suatu kebenaran, maka wajib bagi anda melempar ucapan orang yang menyelisihi kebenaran itu ke balik tembok dan janganlah anda menoleh kepadanya walau setinggi apapun kedudukannya di dalam ilmu dan agama. Karena ucapan seseorang bisa saja salah sedangkan Kalamullah Ta’ala dan ucapan Rasul-Nya Shallallahu ’alaihi wa Salam tidak mungkin salah.

Sungguh aku benar-benar sangat sedih, ketika aku mendengar ada sekelompok orang yang dianggap sebagai orang yang tekun dan giat dalam menuntut dan meraih ilmu, akan tetapi kami mendapatkan mereka dalam keadaan berpecah belah. Setiap orang dari mereka memiliki nama atau sifat tertentu. Hal ini pada realitinya merupakan suatu kekeliruan, karena agama Allah Azza wa Jalla itu satu dan ummat Islam itu juga satu. Allah Azza wa Jalla berfirman yang bermaksud:

Sesungguhnya ummat kamu semua ini adalah ummat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.” (QS al-Mu’minun: 52)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam, maksudnya:

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS al-An’aam: 159)

Allah Azza wa Jalla berfirman, maksudnya:

“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa iaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya, amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS asy-Syuura: 13)

Apabila ini adalah arahan Allah Azza wa Jalla kepada kita, maka wajib bagi kita menerima arahan ini dan wajib bagi kita bersatu di atas landasan pembahasan dan saling berdiskusi satu dengan lainnya di atas landasan islah (perbaikan) bukannya di atas landasan kritikan dan balas dendam.

Karena sesungguhnya, setiap orang yang menyanggahi orang lain dan berdebat dengan maksud untuk memenangkan pendapatnya dan merendahkan pendapat selainnya, atau bermaksud hanya untuk mengkritik tanpa ada keinginan untuk membenahi, maka majoriti mereka akan keluar dengan hasil yang tidak diredhai Allah dan Rasul-Nya. Maka wajib bagi kita di dalam masalah seperti ini menjadi umat yang satu.

Saya tidaklah mengatakan tidak ada orang yang tidak bersalah. Setiap orang bisa salah dan bisa benar. Akan tetapi, yang saya bicarakan adalah cara di dalam menyatakan kesalahan. Cara dalam menyatakan kesalahan itu bukan dengan cara saya berbicara di belakangnya atau saya mencelanya. Namun cara dalam menyatakannya adalah dengan cara saya bertemu dan berdiskusi dengannya, apabila nampak setelah itu orang tersebut bersikap keras menentang dan tetap berpegang dengan kebatilannya, maka pada saat itulah saya memiliki alasan dan hak, bahkan saya wajib menjelaskan kesalahannya serta memperingatkan manusia dari kesalahannya. Dengan inilah masalah-masalah tersebut akan dapat dizahirkan. Adapun berpecah belah dan berpuak-puak, tidak ada seorang pun yang senang dengan halini kecuali musuh Islam dan musuh kaum muslimin.

والله أسأل أن يجمع قلوبنا على طاعته، وأن يجعلنا من المتحاكمين إلى الله ورسوله، 
وأن يخلص لنا النية ويبين لنا ما خفي علينا من شريعته إنه جواد كريم

Saya memohon kepada Allah untuk mempersatukan hati kita di atas ketaatan kepada-Nya, menjadikan kita orang yang sentiasa berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengikhlaskan niat kita serta menerangkan kepada kita segala hal yang masih samar atas kita dari syariat-Nya, karena sesungguhnya Allah Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

والحمد لله رب العالمين وصلى وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

Segala puji hanyalah milik Allah Rabb pemelihara alam semesta. Sholawat dan Salam semoga sentiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga beliau dan para sahabatnya sekalian.

12:35 AM

Bekal Para Da'i di Jalan Dakwah - زاد الداعية إلى الله (Bekal 5-Menghancurkan Penghalang Antara Dirinya Dengan Mad'u)

BEKAL KELIMA : MENGHANCURKAN PENGHALANG ANTARA DIRINYA DENGAN MAD’U


Seorang da’i haruslah menghancurkan penghalang antara dirinya dengan manusia. Hal ini disebabkan karena banyak saudara-saudara kita para du’at, apabila melihat suatu kaum melakukan kemungkaran, mereka terlalu ghirah (cemburu/semangat) dan benci terhadap kemungkaran tersebut sehingga mereka tidak mau pergi menemui kaum tersebut dan menasihati mereka. Hal ini adalah suatu kesalahan dan bukanlah termasuk hikmah sama sekali. Bahkan yang termasuk hikmah apabila anda pergi mendakwahi mereka, menyampaikan motivasi dan peringatan, dan janganlah anda sekali-kali mengatakan bahwa mereka adalah orang fasik dan tidak mungkin aku akan berjalan dengan mereka.

Apabila anda wahai da’i Muslim, tidak mau berjalan bersama mereka dan tidak mau pergi menemui untuk mendakwahi mereka, lantas siapa yang bertanggung jawab terhadap mereka? Apakah salah seorang dari mereka yang mengambil tanggung jawab ini? Ataukah kaum yang tidak berilmu yang mengambil tanggung jawab ini? Sama sekali tidak! Oleh karena itu sepatutnyalah seorang da’i perlu untuk bersabar, dan hal ini termasuk kesabaran yang telah kami terangkan sebelumnya. Ia harus bersabar dan membenci perbuatan tersebut, namun ia tetap haruslah menghancurkan penghalang antara dirinya dan manusia sehingga ia menjadi mantap di dalam menyampaikan dakwahnya kepada mereka yang memerlukan kepada dakwah.

Adapun apabila ia (baca : da’i tersebut) bersikap mengabaikan tanggungjawabnya, maka ini menyelisihi apa yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam sebagaimana telah diketahui, beliau pernah pergi menemui kaum musyrikin di tempat kediaman mereka, menyeru mereka kepada Allah. Hal ini telah disebutkan dari beliau bahawasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda:

ألا أحد يحملني حتى أبلغ كلام ربي فإن قريشًا منعتني أن أبلغ كلام ربي

“Adakah salah seorang yang mahu membawaku sehingga aku akan menyampaikan ucapan Rabb-ku, karena kaum Quraisy telah mencegahku dari menyampaikan ucapan Rabb-ku” [Dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad (14510), (14511) dan (14708) dan Ibnu Hibban di dalam Kitabut Tarikh Bab Bad`ul Kholqi (6274)].

Apabila sedemikian ini keteguhan Nabi, imam dan tauladan kita, Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam, maka tentulah wajib pula bagi kita untuk meniru beliau di dalam dakwah ke jalan Allah.

12:03 AM

Bekal Para Da'i di Jalan Dakwah - زاد الداعية إلى الله (Bekal 4-Akhlaq yang Mulia)


BEKAL KEEMPAT : AKHLAK YANG MULIA


Seorang da’i haruslah berperangai dengan akhlak yang mulia, dimana ilmunya tampak terefleksikan di dalam aqidah, ibadah, perilaku dan semua jalan hidupnya, sehingga ia dapat menjalankan peranan sebagai seorang da’i di jalan Allah. Adapun apabila ia dalam keadaan sebaliknya, maka sesungguhnya dakwahnya akan gagal, sekiranya sukses maka kesuksesannya
sedikit.

Wajib bagi da’i mengamalkan apa yang ia dakwahkan, baik berupa ibadah, mu’amalah, akhlak dan suluk (sifat/karakter), sehingga dakwahnya diterima dan ia tidak termasuk orang yang pertama kali dilemparkan ke dalam neraka.

Wahai saudaraku, sesungguhnya ketika kita memperhatikan keadaan kita, kita dapati dalam realita bahawa kadang kala kita berdakwah mengajak kepada sesuatu namun kita tidak mengamalkannya, tidak ragu lagi bawa hal ini merupakan aib yang besar. Allahumma, melainkan ada pandangan yang merintangi antara kita dengan dirinya kepada sesuatu yang lebih baik, karena setiap tempat memiliki ucapan tersendiri.

Maka sesuatu yang utama, terkadang menjadi lebih diutamakan disebabkan oleh sejumlah hal yang menjadikannya lebih rajih (kuat) keutamaannya. Oleh karena itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengajak kepada beberapa karakteristik namun acap kali pula beliau menyibukkan diri dengan sesuatu yang lebih penting darinya. Suatu saat beliau akan berpuasa sampai dikatakan beliau tidak akan berbuka, dan pada saat lain beliau akan berbuka sampai dikatakan beliau tidak akan berpuasa.

Wahai saudaraku, sesungguhnya aku sangat berkeinginan agar setiap da’i berperangai dengan akhlak yang pantas bagi seorang da’i, sehingga ia dapat menjadi seorang da’i yang sejati dan perkataannya dapat lebih mudah untuk diterima.