Listen to Quran
10:54 PM

Bekal Para Da'i di Jalan Dakwah - زاد الداعية إلى الله (Bekal 3-Hikmah)


“Hikmah itu adalah barangan yang tercicir (dari tangan) orang Mukmin. Di mana pun beliau menemuinya, maka dialah yang paling berhak terhadapnya” 

BEKAL KETIGA : HIKMAH

Seorang da’i haruslah menyeru kepada Allah dengan hikmah. Dan alangkah pahitnya orang yang tidak memiliki hikmah. Dakwah ke jalan Allah itu haruslah dengan:
(1) hikmah,
(2) mau’izhah hasanah (pelajaran yang baik),
(3) berdebat dengan cara yang lebih baik kepada orang yang tidak zhalim, kemudian
(4) berdebat dengan cara yang tidak lebih baik kepada orang yang zhalim.
Jadi, tingkatan ini ada empat.

Allah Ta’ala berfirman yang bermaksud:

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS an-Nahl: 125)

Dan firman-Nya yang bermaksud:

"Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.” (QS al-Ankabuut: 49)

Sesungguhnya hikmah itu adalah : menetapkan suatu perkara secara mantap dan tepat, dengan cara menempatkan suatu perkara pada tempatnya dan mendudukkan suatu perkara pada kedudukannya. Bukanlah termasuk hikmah apabila anda tergesa-gesa dan menginginkan manusia akan berubah keadaannya dari keadaan mereka sebelumnya menjadi seperti keadaan para sahabat hanya dalam sehari semalam.

Barangsiapa yang berkeinginan seperti itu maka ia adalah orang yang tolol akal fikirannya, jauh dari hikmah. Karena hikmah Allah Azza wa Jalla jauh dari hal ini, dan yang menunjukkan hal ini kepada anda adalah, bahwa Muhammad Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam, al-Kitab diturunkan kepada beliau secara bertahap sampai menjadi mantap dan sempurna di dalam
jiwa.

Sholat diwajibkan pada saat mi’raj tiga tahun sebelum hijrah, ada yang berpendapat satu tahun setengah, ada juga yang berpendapat lima tahun. Para ulama berselisih pendapat tentangnya... namun, sholat ketika itu tidak diwajibkan sebagaimana kondisi saat ini. Sholat yang pertama kali
diwajibkan adalah dua rakaat zhuhur, ashar, isya’ dan fajar serta tiga rakaat maghrib sebagai witir pada pertengahan hari. Setelah hijrah dan setelah Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam melewati masa 13 tahuh di Makkah, rakaat shalat ditambah dan menjadi empat rakaat untuk zhuhur, ashar dan isya’, sedangkan sholat fajar (shubuh) tetap sebagaimana rakaat sebelumnya, dikarenakan panjangnya bacaan di dalamnya, juga demikian dengan maghrib yang tetap sebanyak tiga rakaat dikarenakan ia merupakan witr pada pertengahan hari.

Zakat diwajibkan pada tahun kedua setelah hijrah, atau (ada yang berpendapat) diwajibkan di Makkah namun belum ditentukan kadar nishab dan wajibnya, serta Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam juga belum mengutus perwakilan khusus untuk mengumpulkan zakat kecuali pada tahun kesembilan setelah hijrah. Hukum seputar zakat berkembang dalam tiga tahap:

(1) di Makkah : "Tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya", namun belum diterangkan akan wajibnya juga belum diterangkan akan takarannya yang wajib serta urusan ini dipercayakan sepenuhnya kepada manusia.
(2) tahun kedua hijriyah, telah diterangkan zakat dengan nishabnya, dan
(3) pada tahun kesembilan hijriyah, Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam mengutus perwakilan khusus untuk memungut zakat kepada pemilik ladang dan harta.

Maka cermatilah bagaimana perhatian khusus pensyariatan Allah Azza wa Jalla terhadap kondisi manusia dan Dia (Allah) adalah sebaik-baik pemberi keputusan (hakim).

Demikian pula dengan puasa, pensyariatannya dilakukan secara bertahap. Kewajiban pertama puasa adalah manusia diberikan kebebasan untuk memilih antara berpuasa atau memberi makan (fakir miskin), kemudian hukum puasa dispesifikasikan (menjadi wajib) dan memberi makan (fakir miskin) statusnya berubah boleh dilakukan oleh orang yang tidak mampu berpuasa secara terus menerus.

Saya berkata: Sesungguhnya hikmah itu menolak bahwa dunia ini dapat berubah hanya dalam sehari semalam, untuk itu haruslah ada kelapangan jiwa. Terimalah dari saudara yang anda dakwahi kebenaran yang ada padanya hari ini dan berjalanlah bersamanya secara bertahap sedikit demi sedikit sampai akhirnya ia terbebas dari kebatilan. Janganlah anda beranggapan bahawa manusia itu memiliki tingkatan yang sama, karena sungguh berbeda antara orang yang jahil dengan orang yang menentang. Mungkin ada baiknya aku berikan beberapa contoh dari dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Contoh Pertama:

Seorang pria badui datang dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sedang duduk-duduk dengan sahabat-sahabat beliau di Masjid. Kemudian Badui itu kencing di salah satu sisi dalam Masjid,
maka para sahabatpun mencercanya, yaitu menghardiknya dengan keras. Akan tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang telah Allah anugerahkan kepada beliau al-Hikmah melarang mereka. Setelah Badui itu menyelesaikan kencingnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintahkan untuk menyiram kencingnya dengan air. Mafsadat (kerusakan) pun sirna lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam memanggil Badui tersebut dan berkata padanya:

إن هذه المساجد لا يصلح فيها شيء من الأذى أو القذر إنما هي للصلاة وقراءة القرآن

“Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak selayaknya di dalamnya ada sesuatu dari gangguan dan kotoran, sesungguhnya masjid itu hanyalah untuk sholat dan membaca al-Qur`an.” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari di dalam Kitabul Wudhu` , Bab Tarkun Nabii Shallallahu ’alaihi wa
Salam wan Naas al-A’robiy hatta farogho min Baulihi fil Masjid (219); Kitabul Wudhu`, Bab Shubbul Maa` ’ala Baul fil Masjid (221) dan Kitab al-Adab, Bab ar-Rifqu fil Amri Kulluhu (625); dan Muslim di dalam Kitabuth Thoharoh, Bab Wujubu Ghoslil Baul wa Ghoirihi minan Najasaat (285)]. Atau sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Maka menjadi lapanglah dada si Badui tersebut disebabkan oleh muamalah yang baik ini. Oleh karena itulah aku melihat sebahagian ulama menukilkan ucapan Badui ini yang mengatakan:

اللهم ارحمني ومحمدًا ولا ترحم معنا أحدًا
“Ya Allah rahmatilah aku dan Muhammad dan janganlah Engkau merahmati seorangpun selain kami.”

Karena Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah mensikapinya dengannya dengan sikap yang baik. Adapun para sahabat ridhwanullah ‘alaihi, mereka tergesa-gesa untuk menghilangkan kemungkaran, tanpa mempertimbangkan keadaan orang yang jahil.

Contoh Kedua:

Mu’awiyah bin al-Hakam radhiyallahu ‘anhu datang dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sedang sholat dengan manusia, kemudian salah seorang dari mereka bersin dan mengucapkan alhamdulillah –(perlu diketahui) apabila ada seseorang yang bersin maka hendaklah ia mengucapkan alhamdulillah baik di saat ia berdiri, ruku’ ataupun sujud-.

Orang ini (orang yang bersin) mengucapkan alhamdulillah, maka sekonyong-konyong Mu’awiyah meresponnya dengan mengucapkan yarhamukallah. Hal ini termasuk berbicara di
dalam sholat yang dapat membatalkan sholat. Orang-orang pun memandang dan melototi beliau. Mu’awiyah berkata:

واثكل أمياه

“ibuku telah kehilanganku”, dan واثكل maknanya adalah kehilangan.

Perkataan ini (iaitu واثكل أمياه ) hanya diucapkan tanpa dimaksudkan makna sebenarnya. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah mengatakannya kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika mengatakan: “Maukah engkau aku tunjukkan sesuatu yang dapat mengendalikan itu semua?”, Mu’adz menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah”. Lalu Nabi bersabda: “Jagalah ini” dan beliau memegang lisannya sambil berkata, “jagalah ini”. Mu’adz berkata: “Apakah kita akan diadzab dikarenakan apa yang kita ucapkan?”, lantas Nabi
menjawab:

ثكلتك أمك يا معاذ وهل يكب الناس في النار على وجوههم أو قال على مناخرهم إلا
حصائد ألسنتهم

“Ibumu kehilanganmu wahai Mu’adz! Karena apa seseorang dijungkirbalikkan di dalam neraka di atas wajah mereka –atau dalam riwayat lain di atas hidung mereka- jika bukan karena buah perkataan lisan mereka.” [Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2236), Turmudzi pada Bab-Bab al-Iman, Bab Ma ja’a fi Hurmatish Sholah (2616) dan Ibnu Majah di dalam bab-bab al-Fitan, Bab Kaf al-Lisaan fil Fitnah (3973)].

Kemudian Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu melanjutkan sholatnya, setelah selesai sholat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam memanggil beliau. Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu berkata:



“Demi Allah, belum pernah aku melihat seorang pendidik yang lebih baik cara mendidiknya daripada beliau. Semoga Allah senantiasa memberikan sholawat dan salam kepada beliau. Demi Allah, beliau tidak membentakku dan tidak pula mencercaku. Beliau hanya berkata, Sesungguhnya di dalam sholat ini tidak selayaknya ada sesuatu dari ucapan manusia, sesungguhnya sholat itu adalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur`an.” [Dikeluarkan oleh Muslim, Kitabul Masajid, Bab Tahrimul Kalam fish Sholah (537)]. Atau sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Perhatikanlah dakwah yang dijawab oleh jiwa dan diterima oleh manusia serta melapangkan dada ini!!!

Kita mengambil dari hadits ini sebuah faidah fiqhiyyah, iaitu bahwasanya barang siapa yang berbicara di dalam sholatnya, sedangkan ia tidak mengetahui bahwa hal itu dapat membatalkan sholat maka sholatnya sah.

Contoh Ketiga:

Seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam lalu berkata: ”Wahai Rasulullah, saya telah binasa”. Rasulullah bertanya : ”Apa yang membinasakanmu?”. Orang itu menjawab: ”Aku telah menggauli isteriku di bulan Ramadhan sedang aku tengah berpuasa.” Lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintahkannya untuk memerdekakan budak, dan orang itu menjawab, “saya tidak punya”. Lalu Nabi memerintahkannya untuk berpuasa dua bulan berturut-turut, dan orang itu menjawab, ”aku tidak mampu”. Kemudian beliau memerintahkannya untuk memberi makan enam puluh orang miskin dan ia tetap menjawab, ”aku tidak mampu”. Lalu orang itu duduk dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam datang sambil
membawa kurma sambil berkata : ”ambillah ini dan sedekahkanlah”.

Namun, orang tersebut menjadi loba terhadap kedermawanan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang mana beliau adalah orang yang paling dermawan terhadap makhluk, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah orang yang paling mulia. Orang itu berkata : ”Apakah aku harus mensedekahkannya kepada orang yang lebih miskin dariku wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada keluarga yang lebih miskin dari keluargaku diantara dua dataran (Madinah) ini.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam pun tertawa sampai tampak gigi taring atau gerahamnya. Hal ini disebabkan karena orang ini datang dengan rasa takut dan berkata ”aku telah binasa” namun ia pergi dengan gembira. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Berilah makan keluargamu dengan kurma ini.” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Kitabush Shaum Bab Idza Jama’a fi Ramadhan wa lam yakun lahu syai’ fatashoddaqo ‘alaihi falyukaffir (1936) dan Muslim dalam Kitabush Shiyam Bab Taghlith Tahrim al-Jima’ fi Nahari Ramadhan (1111)]. Maka orang itupun pergi dengan rasa tenang dan riang gembira dengan agama ini dan dengan kemudahan dari da’i pertama (iaitu Nabi) terhadap agama Islam ini, semoga Shalawat dan Salam Allah senantiasa tercurahkan kepada beliau.

Contoh Keempat:

Mari kita perhatikan bagaimana cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bermuamalah dengan orang yang berbuat dosa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam melihat seorang pria menggunakan
cincin emas di tangannya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam melepaskan cincin itu dengan tangannya yang mulia dan membuangnya di tanah. Lalu beliau bersabda:

يعمد أحدكم إلى جمرة من نار فيضعها في يده

”Salah seorang dari kalian dengan sengaja melihat bara api dari neraka dan menggunakannya di tangannya”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak bermuamalah dengannya sebagaimana bentuk muamalah pada awal tadi, namun beliau mencabutnya dari tangannya dan membuangnya ke tanah.

Tidak lama setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam pergi, ada seseorang yang berkata kepada orang itu: ”ambil cincinmu dan manfaatkanlah”. Namun orang itu berkata:

والله لا آخذ خاتمًا طرحه النبي صلى الله عليه وسّلم
”Demi Allah, saya tidak akan mengambil cincin yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah membuangnya.” [Dikeluarkan oleh Muslim dalam Kitabul Libaas Bab Tahrimu Khotam adz-Dzahab ‘alar Rijaal (2090)].

Allahuakbar, sungguh ini adalah kepatuhan yang luar biasa pada sahabat ridhawanullahu ’alaihim.

Yang penting, wajib bagi da’i untuk berdakwah ke jalan Allah Azza wa Jalla dengan hikmah dan tidaklah sama antara orang jahil dengan orang berilmu, antara orang yang menentang dengan orang yang menerima. Setiap ucapan ada tempatnya dan setiap tempat ada kondisinya tersendiri.

10:14 PM

Bekal Para Da'i di Jalan Dakwah - زاد الداعية إلى الله (Bekal 2-Sabar)


BEKAL KEDUA : SABAR



Seorang da’i haruslah bersabar dalam dakwahnya, sabar atas apa yang ia dakwahkan, sabar terhadap orang yang menentang dakwahnya dan sabar atas segala aral rintangan yang menghadangnya.

Seorang da’i haruslah bersabar dan berupaya menetapi kesabaran di dalam berdakwah, jangan sampai ia berhenti atau putus asa, namun ia harus tetap terus berdakwah ke jalan Allah dengan segenap kemampuannya. Lebih-lebih lagi di dalam kondisi di mana berdakwah akan lebih bermanfaat, lebih utama dan lebih tepat, maka ia haruslah benar-benar bersabar di dalam berdakwah dan tidak boleh putus asa, karena seorang manusia apabila dihinggapi putus asa maka ia akan letih dan meninggalkan (dakwah). Akan tetapi, apabila ia menetapi kesabaran di atas dakwahnya, maka ia akan meraih pahala sebagai orang-orang yang sabar di satu sisi, dan di sisi lain ia akan mendapatkan kesudahan yang baik.

Dengarkanlah firman Allah Azza wa Jalla yang menyeru Nabi-Nya, yang bermaksud:

“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang hal yang ghaib yang kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Huud: 49)

Seorang manusia (baca: da’i) tetaplah harus bersabar atas segala hal yang merintangi dakwahnya berupa sanggahan-sanggahan dan bantahan-bantahan, karena setiap manusia yang menjadi seorang da’i di jalan Allah azza wa Jalla pastilah akan menghadapi rintangan sebagaimana firman-Nya yang bermaksud:

“Dan seperti itulah, telah kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa, dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong.” (QS al-Furqan: 31)

Setiap dakwah yang benar, pastilah akan menghadapi orang yang merintangi, menghalangi, membantah dan menebarkan keraguan. Namun, wajiblah bagi seorang da’i bersabar menghadapi segala sesuatu yang merintangi dakwahnya. Meskipun dakwahnya difitnah dengan dakwah yang salah atau batil, sedangkan ia mengetahui bahwa dakwahnya itu berasal dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka ia tetaplah harus bersabar.

Ini bukan ertinya seseorang juga harus bersabar atas apa yang ia katakan atau ia dakwahkan walaupun telah jelas baginya kebenaran. Karena barangsiapa yang tetap bersikap keras dengan apa yang ia dakwahkan padahal telah jelas baginya kebenaran, maka ia serupa dengan orang yang Allah firmankan yang bermaksud:

“Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah jelas (bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu).” (QS al-Anfaal: 6)

Berbantahan tentang kebenaran sesudah jelas sesuatu kebenaran itu adalah sifat yang tercela, Allah telah berfirman tentang orang yang disifatkan demikian, yang bermaksud:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS an-Nisaa`: 115).

Jadi, segala hal yang merintangi dakwah anda wahai para da’i, apabila hal itu benar maka wajib bagi anda kembali kepada kebenaran tersebut, dan apabila batil maka jangan sampai tekad anda dibelokkan dari tujuan asal dakwah anda.

Demikian pula, seorang da’i haruslah bersabar atas segala aral rintangan yang menghadang, karena seorang da’i itu dia pastilah akan dihalang dan ditentang baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. Lihatlah para Rasul Sholawatullah wa Salamuhu ‘alaihim yang dihalang dan ditentang dengan perkataan dan perbuatan, bacalah firman Allah Azza wa Jalla yang bermaksud:

“Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.” (QS adz-Dzaariyaat: 51)

Bagaimana pandangan anda terhadap orang yang diberi wahyu daripada Rabb-nya dan dikatakan di mukanya: “sesungguhnya kamu adalah seorang tukang sihir atau orang gila”? Tidak diragukan, ia akan merasa terluka. Walaupun begitu, para rasul tersebut tetap bersabar atas gangguan yang mereka alami berupa perkataan ataupun perbuatan.

Contoh Kesabaran Para Rasul

1) Nabi Nuh ‘alaihish Sholatu was Salam

Lihatlah kepada rasul pertama Nuh ‘alaihish Sholatu was Salam, suatu ketika kaumnya melewati beliau dan beliau pada saat itu sedang membangun sebuah kapal lalu mereka mencela beliau, lantas beliau berkata kepada mereka, sebagaimana diceritakan di dalam al-Quran, yang bermaksud:

“(Berkatalah Nuh) Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh adzab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang kekal.” (QS Huud: 38-39)

Mereka tidak hanya mengejek beliau, namun mulai mengancam untuk membunuh beliau:

“Mereka berkata: Sungguh jika kamu tidak (mahu) berhenti wahai Nuh, nescaya benar-benar kamu akan termasuk orang-orang yang direjam.” (QS asy-Syu’araa`: 116)

Ertinya adalah, beliau termasuk orang-orang yang akan dibunuh dengan cara dilempari batu. Di sini ada ancaman mati dengan implikasi bahwa “kami telah melempari orang selain dirimu” untuk menampakkan keperkasaan mereka (kaum nabi Nuh) sedangkan mereka telah merejam orang lain “dan engkau (Nuh) adalah termasuk mereka.” Namun, hal ini tidaklah memalingkan Nuh ’alaihish Sholatu was Salam dari dakwah beliau, bahkan beliau tetap terus meneruskan dakwahnya sehingga Allah membukakan untuknya dan untuk kaumnya kemenangan.

2) Nabi Ibrahim ‘alaihish Sholatu was Salam

Dan lihatlah Ibrahim ‘alaihish Sholatu was Salam, kaumnya menghadapinya dengan penentangan, bahkan mereka mengolok-olok beliau di hadapan manusia:

“Mereka berkata: (Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan.” (QS al-Anbiyaa`: 61)

Kemudian mereka mengancam akan membakar beliau:

Mereka berkata: Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” (QS al-Anbiyaa`: 68).

Lalu mereka mengobarkan api yang sangat besar dan mereka melempari beliau dengan manjanik [alat seperti lastik, diguna untuk melontar batu yang berat ke atas kubu dan pagar seteru] disebabkan jarak mereka yang jauh disebabkan panasnya api. Akan tetapi, Rabb pemilik keperkasaan dan kemuliaan berfirman, yang bermaksud:

“Kami berfirman: Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.” (QS al-Anbiyaa`: 69).

Maka api itu menjadi dingin dan keselamatan baginya, dan kesudahan yang baik adalah bagi Ibrahim:

“Mereka hendak berbuat makar (tipu daya) terhadap Ibrahim, Maka kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi.” (QS al-Anbiyaa`: 70).

3) Nabi Musa ‘alaihish Sholatu was Salam

Lihatlah Musa ‘alaihish Sholatu was Salam dan bagaimana Fir’aun mengancam untuk membunuh beliau:

“Dan berkata Fir'aun (kepada pembesar-pembesarnya): Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khuatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” (QS Ghaafir: 26).

Ia mengancam untuk membunuh beliau akan tetapi berlaku sebaliknya dan kesudahan yang baik adalah bagi Musa ‘alaihish Sholatu was Salam:

“Dan Fir'aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk.” (QS Ghaafir: 45).

4) Nabi Isa ‘alaihish Sholatu was Salam

Lihatlah Isa ‘alaihish Sholatu was Salam yang mendapat gangguan sehingga kaum Yahudi menuduh beliau sebagai anak penzina. Mereka membunuh beliau dengan asumsi mereka dan menyalibnya, akan tetapi Allah Ta’ala berfirman yang bermaksud:

“Mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keraguan tentang yang dibunuh itu, mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahawa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya, dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS an-Nisaa`: 157-158).

Maka Allahpun menyelamatkan beliau.

5) Nabi Muhammad Shallallahu ’alaihi was Salam.

Dan lihatlah penutup dan imam para nabi, penghulu anak cucu Adam, Muhammad Shallallahu ’alaihi was Salam. Allah berfirman tentang beliau, maksudnya:

“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu, mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS al-Anfaal: 30).

“Dan mereka berkata: Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?.” (QS ash-Shaaffaat: 36).

Beliaupun menghadapi gangguan-gangguan berupa perkataan maupun perbuatan, yang mana hal ini telah diketahui oleh para ulama di dalam buku-buku Tarikh (Sejarah) dan kesudahan yang baik adalah bagi beliau.

Jadi, setiap da’i pastilah akan menemui gangguan, namun ia haruslah dapat bersabar menghadapinya. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya Shallallahu ’alaihi was Salam, yang bermaksud:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran kepadamu (wahai Muhammad) dengan beransur-ansur.” (QS al-Insaan: 23).

Mungkin dikira, Allah akan berfirman (setelah ayat di atas): “maka bersyukurlah kamu atas nikmat Allah yang menurunkan al-Qur`an ini secara beransur-ansur”, padahal Allah berfirman pada beliau, maksudnya:

“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” (QS al-Insaan: 24).

Hal ini menunjukkan bahwa orang yang menerima al-Qur`an ini, maka ia akan mendapatkan perkara-perkara yang memerlukan kesabaran yang besar. Maka hendaklah bagi setiap da’i mesti bersabar dan tetap terus berdakwah sehingga Allah membukakan (kemenangan) baginya, namun (ingat) Allah tidak mesti membukakan (kemenangan) baginya di dalam kehidupannya.

Yang penting adalah dakwahnya tetap berjalan di tengah-tengah manusia, tetap kuat dan diikuti. Tidaklah penting figur (diri pendakwah) tersebut namun yang penting adalah dakwahnya, apabila dakwahnya tetap terus berjalan, bahkan setelah ia matipun, maka sesungguhnya ia tetap hidup. Allah Azza wa Jalla berfirman yang bermaksud:

“Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gelita yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya? Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (QS al-An’aam: 122).

Pada hakikatnya, kehidupan seorang da’i tidaklah bererti ruhnya tetap berada di dalam jasadnya saja, namun ucapannya tetap hidup di tengah-tengah manusia.

Lihatlah kisah Abi Sufyan dengan Heraklius yang telah mendengar keluarnya Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam. Ia memanggil Abu Sufyan dan menanyakan kepadanya tentang Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam, perihal keadaan beliau, nasab beliau, apa yang beliau dakwahkan dan keadaan para sahabat beliau.

Kemudian ketika Abu Sufyan menceritakan kepadanya tentang apa yang ia tanyakan, Heraklius berkata kepadanya:

إن كان ما تقول حّقًا فسيملك ما تحت قدمي هاتين

“Apabila yang engkau katakan itu benar, maka ia akan segera menduduki negeri yang berada di bawah kedua telapak kakiku ini.” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari di dalam Kitab Bada`ul Wahyu, Bab Kaifa Kaana Bada`ul Wahyu ila Rasulillah Shallallahu ’alaihi wa Salam (7)].

Subhanallah, siapa yang dapat membayangkan bahwa seorang raja imperium (Romawi), sebagaimana mereka katakan, dapat mengatakan perkataan ini tentang Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam, padahal beliau belum membebaskan jazirah Arab dari penghambaan terhadap syaithan dan hawa nafsu? Siapa yang dapat membayangkan bahwa orang seperti ini akan mengatakan sebagaimana yang ia katakan? Oleh karena itulah ketika Abu Sufyan keluar, ia mengatakan kepada kaumnya:

لقد أمِر أمر ابن أبي كبشة إنه ليخافه ملك بني الأصفر

“Sungguh besar urusan Ibnu Abi Kabasyah (Muhammad, pent.), sesungguhnya ia benar-benar ditakuti oleh raja Bani al-Ashfar (Bizantium).” kata أمِر bermakna عظم ”agung/besar”, seperti firman Allah:

لقد جئت شيئًا إمرا

Engkau benar-benar datang dengan sesuatu yang besar/agung.” iaitu عظيماً ”besar”.

Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam sungguh telah menguasai negeri yang berada di bawah kedua telapak kaki Heraklius dengan dakwah beliau, bukan dengan figur peribadi beliau. Karena dakwah beliau telah datang ke negeri ini dan memusnahkan berhala-berhala, kesyirikan dan para pelakunya. Para Khalifah Rasyidin menguasainya setelah Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam, mereka menguasainya dengan dakwah dan syariat Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam.

Oleh karena itu, hendaklah setiap da’i itu bersabar dan ia akan mendapatkan kesudahan yang baik selama sepanjang hidupnya dan setelah matinya, apabila ia jujur kepada Allah.

Firman Allah yang bermaksud:

“Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah, dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS al-A’raaf: 128).

Dan firman-Nya lagi, maksudnya:

“Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak mensia-siakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS Yusuf: 90).

9:55 PM

Bekal Para Da'i di Jalan Dakwah - زاد الداعية إلى الله (Bekal 1-Berilmu)

BEKAL PERTAMA : BERILMU



Seorang da’i haruslah memiliki ilmu tentang apa yang ia dakwahkan di atas ilmu yang shahih yang berangkat dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Karena setiap ilmu yang diambil dari selain Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, wajib diteliti terlebih dahulu. Setelah menelitinya, maka dapat menjadi jelas apakah ilmu tersebut selaras ataukah menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Apabila selaras maka diterima dan apabila menyelisihi maka wajib menolaknya tidak peduli siapapun yang mengucapkannya. Telah tetap sebuah riwayat daripada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahawasanya beliau berkata:

يوشك أن تترل عليكم حجارة من السماء أقول: قال رسول الله وتقولون: قال أبو بكر وعمر

“Sungguh nyaris kalian ditimpa hujan batu dari langit. Saya mengatakan sabda Rasulullah, kalian malah menjawab dengan ucapan Abu Bakr dan ’Umar.”

Apabila pada ucapan Abu Bakr dan ’Umar yang menyelisihi ucapan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam saja (diancam) seperti ini, lantas bagaimana menurut anda dengan ucapan orang yang keilmuan, ketakwaan, persahabatan dan kekhilafahannya di bawah keduanya (Abu Bakr dan ’Umar)?!

Sesungguhnya, menolak ucapan orang yang menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam adalah suatu hal yang lebih utama. Allah Azza wa Jalla telah berfirman yang bermaksud:

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.” (QS an-Nuur : 63)

Imam Ahmad rahimahullahu berkata:

أتدري ما الفتنة؟ الفتنة الشرك، لعله إذا رد بعض قوله أن يقع في قلبه شيء من الزيغ فيهلك

“Apakah anda tahu apa yang dimaksud dengan fitnah (dalam ayat di atas, pent.)? fitnah adalah syirik. Bisa jadi ketika ia menolak sebagian ucapan Rasulullah akan masuk ke dalam hatinya sesuatu kesesatan yang pada akhirnya akan membinasakannya.”

Sesungguhnya, bekal pertama yang seharusnya seorang da’i di jalan Allah mempersiapkannya adalah, ia harus berada di atas ilmu yang diambil dari Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ’alaihi wa Salam yang shahih lagi maqbul (diterima). Adapun dakwah tanpa ilmu maka sesungguhnya ini termasuk dakwah di atas kejahilan, dan berdakwah di atas kejahilan itu madharatnya lebih besar dibandingkan manfaatnya. Karena da’i yang berdakwah di atas kejahilan ini, menempatkan dirinya sebagai seorang yang mengarahkan dan membimbing.

Apabila ia orang yang jahil, maka dengan melakukan dakwah seperti ini (di atas kejahilan), dapat menyebabkannya sesat dan menyesatkan, wal’iyadzubillah. Kejahilannya ini akan menjadi jahlul murokkab (kebodohan yang bertingkat) sedangkan jahlul murokkab itu lebih buruk dibandingkan jahlul basith. Karena jahlul basith itu dapat menahan pelakunya dan tidak akan berbicara, dan bisa jadi ia dapat menghilangkan kejahilannya dengan belajar. Tetapi, yang menjadi sumber segala permasalahan adalah keadaan orang yang jahil murokkab, karena orang yang jahil murokkab ini tidak mau diam, ia akan terus berbicara walaupun dari kejahilannya. Pada saat itulah ia menjadi orang yang lebih banyak membinasakan daripada menerangi.

Saudaraku sekalian, sesungguhnya berdakwah ke jalan Allah tanpa diiringi dengan ilmu itu menyelisihi tuntunan Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam dan orang yang mengikuti beliau. Dengarkanlah firman Allah Ta’ala yang memerintahkan Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam dalam firman-Nya yang bermaksud:

“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah di atas bashiroh (hujjah yang nyata). Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".” (QS Yusuf : 108)

Firman-Nya: “Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah di atas bashiroh (hujjah yang nyata)”, artinya adalah: orang yang mengikuti beliau Shallallahu ’alaihi wa Salam, wajib atasnya berdakwah mengajak kepada Allah di atas bashiroh, tidak di atas kejahilan.

Renungkanlah wahai para da’i firman Allah “di atas bashiroh”, yaitu di atas bashiroh pada tiga hal:

Pertama: di atas bashiroh terhadap apa yang di dakwahkan, yaitu ia haruslah memiliki ilmu (baca : mengetahui) tentang hukum syar’i yang ia dakwahkan. Karena bisa jadi ia mengajak kepada sesuatu yang ia duga sebagai suatu hal yang wajib sedangkan di dalam syariat tidaklah wajib, sehingga ia mengharuskan hamba-hamba Allah sesuatu yang Allah tidak
mengharuskannya. Bisa jadi pula ia mengajak untuk meninggalkan sesuatu yang ia anggap haram sedangkan hal itu di dalam agama Allah tidaklah haram, sehingga ia telah mengharamkan bagi hamba-hamba Allah sesuatu yang Allah halalkan bagi mereka.

Kedua: di atas bashiroh terhadap kondisi dakwah (baca: kondisi objek dakwah, pent.), oleh karena itulah Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam tatkala mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan padanya:

إنك ستأتي قومًا أهل كتاب

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Kitabuz Zakah, Bab Akhdzush Shodaqoh minal Aghniya’ wa taruddu ilal Fuqoro` haitsu kaanuu (1469) dan Muslim dalam Kitabul Iman, Bab as-Du`a’ ila asy-Syahadatain wa Syaro’i` al- Islam (13), (19)].

Supaya dia (Mu’adz) mengetahui kondisi mereka dan bersiap-siap di dalam menghadapi mereka.

Oleh karena itulah kondisi mad’u (objek dakwah) ini haruslah diketahui, sejauh mana tingkat pengetahuan mereka? Sejauh mana kemampuan mereka untuk debat? Sehingga ia dapat mempersiapkan dirinya untuk berdiskusi dan berdebat dengan mereka. Karena sesungguhnya, apabila anda memasuki perdebatan dengan orang seperti ini (baca: yang lebih berilmu dan pandai debat sedangkan anda tidak mengetahuinya, pent.), sedangkan dia lebih handal di dalam berdebat, maka hal ini akan menjadi bencana yang besar terhadap kebenaran, dan andalah penyebab ini semua.

Anda jangan pernah sekali-kali beranggapan bahwa para pelaku kebatilan pasti gagal di dalam segala hal, padahal Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda:

إنكم تختصمون إلي ولعل بعضكم أن يكون ألحن بحجته من بعض فأقضي له بنحو ما أسمع

“Sesungguhnya kalian bertikai dan datang melapor kepadaku, dan bisa jadi ada sebagian dari kalian yang lebih lihai di dalam mengemukakan hujjahnya daripada yang lainnya sehingga aku memutuskannya berdasarkan apa yang aku dengar.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Kitabusy Syahadaat, Bab man Aqoomal Bayyinah ba’dal Yamiin (2680) dan Kitabul Ahkaam, Bab Mau’izhatul Imam lil Hadhorim (7169) serta Muslim di dalam Kitab Bab Bayaan anna Hukmal Haakim la yughoyyirul Bathin (1713)].

Oleh karena itulah, wajib bagi seorang da’i sebelum ia bergerak (untuk berdakwah), hendaknya ia mencermati dan menimbang kesan-kesannya. Kadang kala, dapat juga terjadi pada waktu itu, sesuatu yang tidak hanya akan memadamkan kobaran semangat atas aktivitinya (baca: dakwahnya), namun perbuatannya ini juga akan memadamkan api semangatnya dan semangat orang selainnya di masa yang akan datang, mungkin dalam waktu dekat tidak lama lagi. Oleh karena itulah, aku menganjurkan saudara-saudaraku agar berdakwah dengan menggunakan hikmah dan ta`anni (baca: tenang, tidak tergesa-gesa), suatu perkara yang mungkin akan menunda waktu barang sedikit, namun hasilnya akan terpuji dengan kehendak Allah Ta’ala.

Apabila hal ini, maksudku da’i yang berbekal dengan ilmu shahih yang dibangun di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam, merupakan sesuatu yang ditunjukkan oleh nash-nash syar’iyyah, maka sesungguhnya (hal ini) juga ditunjukkan oleh akal yang shar ih (terang) yang tidak memiliki syubhat maupun syahwat. Karena bagaimana mungkin anda dapat berdakwah menyeru kepada Allah Jalla wa ’Ala sedangkan anda tidak mengetahui jalan yang dapat mengantarkan kepada-Nya. Anda tidak mengetahu syariat-Nya lantas bagaimana bisa dibenarkan anda menjadi seorang da’i? Apabila seorang manusia tidak memiliki ilmu, maka yang utama baginya adalah belajar terlebih dahulu, baru kemudian ia boleh berdakwah.

Mungkin akan ada yang berkata: “Bukankah ucapan anda ini menyelisihi ucapan Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam:

بلغوا عني ولو آية

Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat.”
[Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Kitab Ahaadits al-Anbiya`, Bab Ma dzakaro ’an Bani Isra`il (3461)].

Maka saya jawab: Tidak. Karena Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda: “Sampaikan dariku”, oleh karena itulah sesuatu yang kita sampaikan haruslah benar-benar dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam. Dan inilah yang kami maksudkan. Pada saat kami mengatakan bahwa da’i itu memerlukan ilmu, kami bukanlah memaksudkan bahwa ia haruslah mencapai tingkatan orang yang ahli di dalam ilmu, namun kami mengatakan bahwa ia tidak boleh berdakwah melainkan dengan apa yang ia ketahui saja dan tidak boleh berkata melainkan dengan yang ia ketahui.

8:34 PM

Bekal Para Da'i di Jalan Dakwah - زاد الداعية إلى الله (Muqaddimah)


زاد الداعية إلى الله للإمام محمد بن صالح العثيمين

Bekal Para Da'i di Jalan Dakwah
oleh - Muhammad ibn Salih al-Uthaimeen

Muqaddimah

بسم الله الرحمن الرحيم

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang

إن الحمد لله، نحمده، ونستعينه، ونستغفره، ونتوب إليه، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله، أرسله الله تعالى بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله، فبلَّغ الرسالة، وأدى الأمانة، ونصح الأمة، وجاهد في الله حق جهاده، وترك أمته على محجة بيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها إلا هالك، فصلوات الله وسلامه عليه وعلى آله وأصحابه، ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، وأسأل الله عز وجل أن يجعلني وإياكم من أتباعه باطنًا وظاهرًا، وأن يتوفانا على ملته، وأن يحشرنا في زمرته، وأن يدخلنا في شفاعته، وأن يجمعنا به في جنات النعيم مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين،
والصديقين، والشهداء والصالحين. أما بعد

Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah, yang kita menyanjung-Nya, memohon pertolongan dan pengampunan dari-Nya serta kita bertaubat kepada-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari keburukan jiwa-jiwa kita dan kejelekan amal-amal kita. Barangsiapa yang Allah berikan petunjuk kepada-Nya maka tidak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah leluasakan kepada kesesatan maka tidak ada seorangpun yang yang memberinya petunjuk.

Saya bersaksi bahwa tiada sembahan yang haq untuk disembah kecuali hanya Allah semata yang tidak ada sekutu atas-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang Allah Ta’ala mengutus beliau dengan petunjuk dan agama yang haq, yang Allah menangkan dari semua agama. Kemudian beliau menyampaikan risalah, memenuhi amanat dan memberikan nasihat bagi ummat serta berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad. Beliau meninggalkan ummatnya dalam keadaan yang terang benderang, malamnya bagaikan siangnya dan tidak ada yang berpaling darinya kecuali akan binasa.

Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada beliau, keluarga beliau dan sahabat beliau, serta siapa saja yang mengikuti mereka dengan lebih baik sampai hari kiamat. Saya memohon kepada Allah agar menjadikanku dan kalian termasuk para pengikut beliau secara bathin dan zhahir, mewafatkan kita di atas agama beliau, membangkitkan kita (pada hari kiamat kelak) di dalam barisan beliau, memasukkan kita ke dalam syafa’at beliau dan mengumpulkan kita di dalam surga na’im (yang penuh kenikmatan) bersama orang-orang yang Allah anugerahkan nikmat kepada mereka dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Amma Ba’du:

Wahai saudaraku sekalian, sungguh saya benar-benar sangat berbahagia bisa bersua dengan saudara-saudaraku kaum muslimin di sini, dan juga di tempat lain yang diharapkan kebaikan darinya, yang turut menyebarkan agama ini. Karena Allah Ta’ala telah mengambil perjanjian kepada setiap orang yang Ia anugerahkan ilmu padanya, agar menjelaskan ilmu yang ia miliki kepada manusia dan tidak boleh menyembunyikannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang bermaksud:

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima,” (QS Ali ‘Imran 187).

Perjanjian yang Allah ambil ini, bukanlah seperti perjanjian tertulis yang dapat disaksikan manusia, namun ia adalah perjanjian untuk mempelajari segala hal yang Allah berikan kepada seseorang berupa ilmu. Apabila Allah telah memberikannya ilmu, maka ini merupakan perjanjian yang Allah telah mengikat pria atau wanita yang Ia berikan ilmu tersebut. Oleh karena itu wajib bagi orang yang memiliki ilmu untuk menyampaikan ilmunya berupa syariat Alloh Subhanahu wa Ta’ala ke setiap tempat dan pada setiap kesempatan. Saudaraku sekalian, sesungguhnya tema kita kali ini adalah “Bekal bagi seorang da’i di dalam berdakwah ke jalan Allah Azza wa Jalla”, dan bekal (zaad) bagi setiap muslim adalah apa yang telah diterangkan oleh Allah Azza wa Jalla di dalam firman-Nya yang bermaksud:

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS al-Baqarah : 197).

Maka, bekal bagi tiap muslim adalah bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, yang mana Allah telah berulang kali menyebutkan takwa di dalam Al-Qur`an dan memerintahkannya, memuji orang yang melaksanakannya dan menjelaskan pahalanya, dan selainnya, diantaranya adalah firman-Nya yang bermaksud:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (QS al-Baqarah : 133-136)

Wahai saudaraku yang mulia, mungkin anda bertanya-tanya, apakah takwa itu? Jawabnya adalah apa yang disebutkan di dalam sebuah atsar dari Tholq bin Habib rahimahullahu, beliau mengatakan:

التقوى أن تعمل بطاعة الله، على نور من الله، ترجو ثواب الله

“Takwa adalah, anda mengamalkan ketaatan kepada Allah, di atas cahaya daripada Allah dan mengharap pahala Allah.”

Di dalam ucapan ini, terhimpun sifat: 
(1) ilmu, 
(2) amal, 
(3) mengharap pahala dan 
(4) takut akan siksa-Nya, 
maka inilah yang dimaksud dengan takwa itu.

Sesungguhnya kita semua mengetahui, bahwa seorang da'i yang menyeru kepada Allah Azza wa Jalla, adalah manusia yang paling utama untuk berhias dengan karakter ini, bertakwa kepada Allah di saat bersendirian maupun di hadapan manusia. Saya akan menyebutkan dengan pertolongan Allah Azza wa Jalla pada kesempatan ini, hal-hal yang berkaitan dengan seorang da’i dan bekal-bekal yang sepatutnya seorang da’i mempersiapkannya.

11:45 AM

Al-Sunnah - Wahyu Kedua Selepas al-Quran

Firman Allah SWT:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى • إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحى

(Surah al-Najm:3–4)

Yang dimaksud Al-Sunnah di sini adalah Sunnah Nabi, iaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari'at bagi umat ini. Termasuk didalamnya ‘apa saja yang hukumnya wajib dan sunnah’ sebagaimana yang menjadi pengertian umum menurut ahli hadits. Juga ‘segala apa yang dianjurkan yang tidak sampai pada tahap wajib’ yang menjadi istilah ahli fiqh [Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al-Aqa'id wa al-Ahkam karya al-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, hal. 11]. 

Pengertian As Sunnah 

Al-Sunnah atau al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah SAW: 

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi al-Quran dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -iaitu al-Sunnah-,
(Riwayat Abu Dawud dan yang lainnya dengan sanad yang shahih) [Abu Dawud (no.4604), juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130].

Para ulama juga menafsirkan firman Allah SWT: 

“…dan supaya mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah”
[Surah al-Baqarah, ayat 129]

Al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah al-Sunnah seperti diterangkan oleh Imam al-Syafi'i, “Setiap kata al-hikmah dalam Al-Quran yang dimaksud adalah al-Sunnah.” Demikian pula yang ditafsirkan oleh para ulama yang lain. [Lihat Al-Madkhal Li Dirasah al-'Aqidah al-Islamiyah hlm. 24]. 

Al-Sunnah Terjaga Sampai Hari Kiamat 

Antara pengetahuan yang sangat penting, namun banyak orang melalaikannya, iaitu bahawa al-Sunnah termasuk dalam kata al-Dzikr yang termaktub dalam firman Allah Al-Quran surah al-Hijr ayat 9, yang terjaga dari kepunahan dan ketercampuran dengan selainnya, sehingga dapat dibedakan mana yang benar-benar al-Sunnah dan mana yang bukan. Tidak seperti yang disangka oleh sebahagian kelompok sesat, seperti Qadianiyah [Kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiani yang mengaku sebagai nabi, yang muncul di negeri India pada masa penjajahan Inggeris.] dan Quraniyun [Kelompok yang mengingkari al-Sunnah, dan hanya berpegang pada al-Qur’an.], yang hanya mengimani (meyakini) al-Quran namun menolak al-Sunnah. Mereka beranggapan salah [Dari sini nampak sekali kebodohan mereka akan al-Qur’an, seandainya mereka benar mengimani al-Qur’an sudah pasti mereka akan mengimani al-Sunnah, kerana betapa banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah SAW yang sudah barang tentu menunjukkan perintah untuk mengikuti al-Sunnah] tatkala mengatakan bahwa al-Sunnah telah tercampur dengan kedustaan manusia; tidak lagi bisa dibedakan mana yang benar-benar al-Sunnah dan mana yang bukan. Sehingga, mereka menyangka, setelah wafatnya Rasulullah SAW, kaum muslimin tidak mungkin lagi mengambil faedah dan merujuk kepada al-Sunnah. [Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al-'Aqaid wa al-Ahkam hlm. 16] 

Dalil-dalil yang Menunjukkan Terpeliharanya As-Sunnah:

Pertama: 
Firman Allah SWT: 

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Surah al-Hijr: 9) 

Al-Dzikr dalam ayat ini mencakup al-Qur’an dan –bila diteliti dengan cermat mencakup pula al-Sunnah. Sangat jelas dan tidak diragukan lagi bahwa seluruh sabda Rasulullah SAW yang berkaitan dengan agama adalah wahyu dari Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: 

“Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (Surah al-Najm:3)

Tidak ada perselisihan sedikit pun di kalangan para ahli bahasa atau ahli syariat bahawa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT merupakan al-Dzikr. Dengan demikian, sudah pasti bahwa yang namanya wahyu seluruhnya berada dalam penjagaan Allah SWT; dan termasuk di dalamnya al-Sunnah. Segala apa yang telah dijamin oleh Allah SWT untuk dijaga, tidak akan punah dan tidak akan terjadi penyelewengan sedikitpun. Bila ada sedikit saja penyelewengan, niscaya akan dijelaskan kebatilan penyelewengan tersebut sebagai konsekuensi dari penjagaan Allah SWT. Karena seandainya penyelewengan itu terjadi sementara tidak ada penjelasan akan kebatilannya, hal itu menunjukkan ketidak akuratan firman Allah SWT yang telah menyebutkan jaminan penjagaan. Tentu saja yang seperti ini tidak akan terbetik sedikitpun pada benak seorang muslim yang berakal sehat. Jadi, kesimpulannya adalah bahawa agama yang dibawa oleh Muhammad SAW ini pasti terjaga. Allah SWT sendirilah yang bertanggung jawab menjaganya; dan itu akan terus berlangsung hingga akhir kehidupan dunia ini. [Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al-Aqa'id wa al-Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin al-Albani hlm. 16–17]

Kedua:
Allah SWT menjadikan Muhammad SAW sebagai penutup para nabi dan rasul, serta menjadikan syari’at yang dibawanya sebagai syari’at penutup. Allah SWT memerintahkan kepada seluruh manusia untuk beriman dan mengikuti syari’at yang dibawa oleh Muhammad SAW sampai Hari Kiamat, yang hal ini secara otomatis menghapus seluruh syari’at selainnya. Dan adanya perintah Allah SAW untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia, menjadikan syariat agama Muhammad SAW tetap abadi dan terjaga. Adalah suatu kemustahilan, Allah SWT membebani hamba-hamba-Nya untuk mengikuti sebuah syari’at yang bisa punah. Sudah kita maklumi bahwa dua sumber utama syari’at Islam adalah al-Qur‘an dan al-Sunnah. Maka bila al-Qur’an telah dijamin keabadiannya, tentu al-Sunnahpun demikian. [Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al-Aqa'id wa al-Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin al-Albani hlm. 19-20] 

Ketiga: 
Seorang yang memperhatikan perjalanan umat Islam, niscaya ia akan menemukan bukti adanya penjagaan al-Sunnah. Diantaranya sebagai berikut: [Lihat Al-Madkhal li al-Dirasah al-Aqidah al-Islamiyah, hlm. 25] 

a. Perintah Nabi SAW kepada para sahabatnya agar menjalankan al-Sunnah. 
b. Semangat para sahabat dalam menyampaikan al-Sunnah. 
c. Semangat para ulama di setiap zaman dalam mengumpulkan al-Sunnah dan menelitinya sebelum mereka menerimanya. 
d. Penelitian para ulama terhadap para periwayat al-Sunnah. 
e. Dibukukannya ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil. [Ilmu yang membahas penilaian para ahli hadits terhadap para periwayat hadits, baik berkaitan dengan pujian maupun celaan. (Pen.)] 
f. Dikumpulkannya hadits–hadits yang cacat, lalu dibahas sebab-sebab cacatnya. 
g. Pembukuan hadits-hadits dan pemisahan antara yang diterima dan yang ditolak. 
h. Pembukuan biografi para periwayat hadits secara lengkap. 


Wajib merujuk kepada al-Sunnah dan haram menyelisihinya 

Sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahawa al-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan al-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi’i rahimahullah di akhir kitabnya, al-Risalah berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).” Kaedah Ushul menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. 

Perintah al-Qur‘an agar berhukum dengan al-Sunnah

Di dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan al-Sunnah, diantaranya: 

1. Firman Allah SWT: 

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki maupun perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan dalam urusan mereka, mereka memilih pilihan lain. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia telah nyata-nyata sesat.”
(Surah al-Ahzab: 36) 

2. Firman Allah SWT: 

“Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Surah Hujurat:1) 

3. Firman Allah SWT: 

“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang kafir.” (Surah Ali Imran: 32) 

4. Firman Allah SWT: 

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; janganlah kamu berbantah-bantahan, karena akan menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Surah al-Anfal: 46) 

5. Firman Allah SWT: 

“Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang ia kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan mendapatkan siksa yang menghinakan.” (Surah al-Nisa’: 13–14) 

Hadits-hadits yang memerintahkan agar mengikuti Nabi dalam segala hal, di antaranya: 

1. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Setiap umatku akan masuk Syurga, kecuali orang yang enggan,” Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk Syurga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang enggan”. (Riwayat al-Bukhari dalam kitab al-I’tisham). [Hadits no. 6851] 

2. Abu Rafi’ mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Sungguh, akan aku dapati salah seorang dari kalian bertelekan di atas sofanya, yang apabila sampai kepadanya hal-hal yang aku perintahkan atau aku larang dia berkata, ‘Saya tidak tahu. Apa yang ada dalam Al-Qur`an itulah yang akan kami ikuti” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi –dan ia menshahihkannya-, Ibnu Majah, al-Thahawi dan lainnya dengan sanad yang shahih). [HR Imam Ahmad VI/8 , Abu Dawud (no. 4605), al-Tirmidzi (no. 2663), Ibnu Majah (no. 12), al-Thahawi IV/209] 

3. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selamalamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh [Sebuah telaga di surga. (Pen.)].” (Riwayat Imam Malik secara mursal [Tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad.] Al-Hakim secara musnad [Sanadnya bersambung dan sampai kepada Rasulullah SAW.] –dan ia menshahihkannya- ) [Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (no. 1594), dan Al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/172).] 

Kesimpulan 

1. Tidak ada perbedaan antara hukum Allah SWT dan hukum Rasul-Nya, sehingga tidak diperbolehkan kaum muslimin menyelisihi salah satu dari keduanya. Derhaka kepada Rasulullah SAW bererti derhaka pula kepada Allah SWT, dan hal itu merupakan kesesatan yang nyata. 

2. Larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Rasulullah SAW sebagaimana kerasnya larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Allah SWT. 

3. Sikap berpaling dari mentaati Rasulullah SAW merupakan kebiasaan orang-orang kafir. 

4. Sikap rela/redha terhadap perselisihan, -dengan tidak mahu mengembalikan penyelesaiannya kepada al-Sunnah- merupakan salah satu sebab utama yang meruntuhkan semangat juang kaum muslimin, dan memusnahkan daya kekuatan mereka. 

5. Taat kepada Nabi SAW merupakan sebab yang memasukkan seseorang ke dalam Syurga; sedangkan derhaka dan melanggar batasan-batasan (hukum) yang ditetapkan oleh Nabi SAW merupakan sebab yang memasukkan seseorang ke dalam Neraka dan memperoleh azab yang menghinakan.

6. Sesungguhnya al-Qur‘an memerlukan al-Sunnah (karena ia sebagai penjelas al-Qur’an); bahkan al-Sunnah itu sama seperti al-Qur‘an dari sisi wajib ditaati dan diikuti. Barangsiapa tidak menjadikannya sebagai sumber hukum bererti telah menyimpang dari tuntunan Rasulullah SAW.

7. Berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah akan menjaga kita dari penyelewengan dan kesesatan. Kerana, hukum-hukum yang ada di dalamnya berlaku sampai hari kiamat. Maka tidak boleh membezakan keduanya. [Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al-Aqa'id wa al-Ahkam oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani hlm. 21-30]

Rujukan: 

1. Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al-Aqa'id wa al-Ahkam, karya al-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. III/1400 H, al-Dar al-Salafiyah, Kuwait. 

2. Al-Madkhal li al-Dirasah al-Aqidah al-Islamiyah ‘ala Madzhab Ahli al-Sunnah, karya Dr. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan, penerbit Dar al-Sunnah, cet. III. 


Sumber: Fatawa Vol. 01/ I / Ramadhan 1423 H - 2002